Searching...
Minggu, 01 November 2015

Peluang Pasar Hidroponik


Pasar sayuran hidroponik terus tumbuh, 10—20% per tahun. Peluang bagi para (calon) pekebun sayuran tanpa tanah itu.
Kebun hidroponik seluas 1.000 m2 belum cukup agar Kunto Herwibowo mampu memenuhi permintaan beragam sayuran eksklusif. Dari lahan itu Kunto panen total 80—100 kg per hari yang terjual dengan harga Rp35.000—Rp45.000 per kg tergantung jenis sayuran. Harga endive Cichorium endivia, misalnya, Rp35.000; sedangkan butterhead, Rp40.000 per kg. Pekebun di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, itu panen setiap hari, kecuali Ahad. Dengan produksi minimal 80 kg dan harga minimal Rp35.000 per kg, omzet Kunto dari lahan sendiri memang fantastis, Rp61-juta per bulan. Kunto mengatakan biaya produksi sayuran hidroponik mencapai Rp18.000—Rp22.000 per kg.

Selain dari kebun sendiri, alumnus Institut Teknologi Indonesia itu juga menjalin kemitraan dengan para plasma. Sejak berhidroponik NFT (nutrient film technique) pada 2010, Kunto kini bermitra dengan 6 plasma. Mitra ke-6 baru berproduksi pertengahan—akhir 2014. Dari lima plasma yang telah berproduksi itu, Kunto memasarkan total 250 kg sayuran hidroponik per hari untuk memasok pasar swalayan. Jalinan kerja sama itu berupa penyediaan benih, nutrisi, bahkan perakitan sarana produksi oleh Kunto.
Dengan begitu, para plasma tinggal menjalankan sistem budidaya sayuran hidroponik dengan pendampingan. Begitu plasma panen, 35—42 hari kemudian, Kunto menyerap semua produksi yang memenuhi standar pasar (baca: Kriteria Sayuran Juara halaman 22). Meski telah berupaya meluaskan kebun, tetap saja Kunto belum mampu melayani tingginya permintaan. “Pasar yang belum tergarap terbuka lebar,” kata pekebun hidroponik tanpa greenhouse itu. Sayangnya, ia enggan mengungkap target produksi. Menurut Kunto hotel berbintang, restoran, dan kafe di kota-kota besar potensial menyerap sayuran hidroponik.
Aral menghadang
Jimmy Halim yang mulai menekuni budidaya sayuran hidroponik sejak Oktober 2010 juga mengelola lahan hidroponik seluas 3.500 m2 dan memasarkan 150—200 kg sayuran per hari. Pemilik Jiri Farm itu memasok beragam sayuran seperti bayam merah, bayam hijau, dan kangkung dengan label perusahaan mitra. Total permintaan per hari ditentukan sebelum menanam, tapi biasanya berkisar 200 kg per hari. Menurut Jimmi, “Mereka langsung membayar begitu kami mengirim produk.” kata Jimmy.
Begitu mudahkah mengebunkan sayuran hidroponik? Rakit instalasi, semai, tanam, panen, lalu mendapat laba besar? Ternyata banyak aral menghadang para pekebun sejak di lahan hingga pasar. Apalagi pekebun hidroponik di lahan terbuka, tanpa greenhouse, cuaca mendung saja, menjadi hambatan besar (baca boks “Hambatan Sepanjang Jalan” halaman 14)
Namun, hambatan memang bukan untuk dihindari. Sebab, di balik kendala terdapat peluang besar. PT Kebun Sayur Segar (KSS) membuktikannya. Angin menerbangkan papan stirofoam, salah memprediksi preferensi pasar, atau fluktuasi permintaan saat liburan hanya beberapa contoh aral itu. Ketika liburan tertentu, misalnya akhir tahun, kadang-kadang permintaan melonjak, tetapi kerap kali ajek. Itu menyulitkan bagian produksi PT Kebun Sayur Segar. Namun, perusahaan di Desa Galudra, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu menghadapi beberapa aral itu sehingga terus berkembang.
Semula perusahaan itu menanam sayuran hidroponik di lahan 1 ha di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 2006. Manajer Produksi PT Kebun Sayur Segar, Yudi Supriyono, memperluas penanaman di Cugenang. Pasalnya, “Setiap tahun permintaan bertambah 10—15%,” kata Yudi. Ia memperluas penanaman sayuran hidroponik di lahan 2,5 ha. Artinya perusahaan itu sekarang mengelola lahan hidroponik 3,5 ha. Menurut alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga itu total produksi sayuran hidroponik mencapai 1.500 pak—setara 375 kg sayuran per hari yang semua terserap pasar.
Perusahaan tak melulu memasok gerai pasar swalayan. Sebab, 2 tahun terakhir, KSS juga melayani permintaan pelanggan perorangan dengan dengan private label alias label sesuai kehendak pelanggan. Artinya KSS memproduksi sayuran hidroponik, tetapi pengemasan atas nama pihak tertetu yang memesan. Label KSS tidak tercantum di kemasan sayuran itu. Menurut Yudi saat ini pihaknya melayani permintaan 4 klien sayuran label privat. Mereka menyerap 850—1.000 pak setara 212—250 kg per hari. Harga jual sayuran label privat memang lebih rendah.  Yudi mengatakan permintaan label privat cenderung ajek sehingga menjadi andalan untuk menjaga aliran kas.
Permintaan meningkat
Menurut Caesario Parlindungan, senior general manager commercial fresh PT Trans Retail Indonesia, setiap bulan 41 gerai di Jakarta dan sekitarnya memerlukan pasokan total hingga 3 ton sayuran hidroponik. Malah, perusahaan yang mengakuisisi jaringan pasar modern Carrefour itu menginginkan tambahan pasokan bulanan sedikitnya 600 kg. “Jika memenuhi syarat, pemasok baru silakan masuk,” kata Parlindungan. Syarat itu antara lain ukuran seragam, bebas kerusakan, dan segar. Parlindungan mengatakan permintaan sayuran hidroponik setiap tahun meningkat 20%.
Wajar kalau Roni Arifin, pekebun hidroponik di Pamulang, Tangerang Selatan, sampai tak kuasa memenuhi permintaan salah satu jaringan pasar modern. “Setiap gerai memerlukan pasokan minimal 10 kg berbagai jenis sayuran setiap hari. Padahal di Jakarta saja ada 22 gerai,” kata Roni. Itu berarti setiap hari ia mesti mengirim setidaknya 220 kg sayuran hidroponik. Jumlah itu lebih dari 4 kali kemampuan produksinya saat ini, yang baru mencapai 50—70 kg per hari.
Menurut Daniel Vigone, pemilik restoran Mamma Rosy di Kemang, Jakarta Selatan, sayuran hidroponik menjadi pilihan kaum elite lantaran kualitasnya jauh lebih baik daripada sayuran konvensional. “Disimpan 2 hari saja sayur dari pasar rusak. Sementara sayuran hidroponik mampu simpan 3—4 hari tanpa mengubah rasa,” kata pria 31 tahun itu.
Nun di Puri Indah, Jakarta Barat, Ernest Lesmana, bagian purchasing Blacklisted Coffee Roasters, tidak mematok muasal sayuran yang ia beli. “Yang penting utuh dengan warna solid tanpa bekas terbakar maupun lubang bekas hama atau penyakit, rasa netral, dan tahan simpan,” kata Ernest. Ia memerlukan beberapa jenis selada keriting hijau dan merah sebanyak 12 kg per 2 hari.
Saat Kunto Herwibowo menawarkan sayuran hidroponik, ternyata produk itu memenuhi syarat. Kunto dan para pekebun hidroponik lain memang menyertakan akar sayuran apa pun yang diperdagangkan. Bagi pekebun itu menguntungkan karena akar mempengaruhi bobot sayuran. Bagi konsumen pun akar menguntungkan karena sayuran segar lebih lama.
Ernest dan Daniel sepakat sayuran hidroponik mempunyai rasa “netral”, minimal tidak ada rasa saat diramu menjadi salad. “Itu sebabnya kuliner Italia mencampurkan salad dengan minyak zaitun, vinegar, merica, atau garam untuk memperkuat citarasa,” kata Daniel. Sebaliknya, menurut  Daniel sayuran hasil budidaya konvensional acap meninggalkan “after taste” saat konsumsi.
Nun di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Ari Widi Baruna  membudidayakan beragam sayuran seperti selada lorenzo, red oak leaf, dan lollo rosa di lahan 400 m2. Menurut Ari, kebutuhan harian hotel dan restoran di Kota Batam lebih dari 200 kg. Itu belum memperhitungkan kebutuhan masyarakat. “Masyarakat di sana makan sayuran apkir dari Singapura dengan harga mahal. Jika ada sayuran yang lebih segar, meskipun harganya sama-sama mahal, pasti akan menjadi pilihan,” kata Kunto, mitra Ari.
Begitu juga dengan Citra Dyah Kusumawardani di Cinere, Depok, yang menjual caisim, sawi, kangkung, dan pakcoy hasil budidaya hidroponik. Konsumen Citra bukan kalangan elite pengunjung kafe, melainkan hanya rekan-rekan pengajar dan pegawai di sebuah sekolah swasta tempatnya bekerja. Layaknya produk hidroponik, ia membanderol harga lebih mahal ketimbang produk sejenis di pedagang sayur keliling. Pembeli tidak protes karena mereka merasakan perbedaan rasa ketimbang sayuran dari pedagang sayur.
Harga tinggi
Menurut pakar agribisnis di Program Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor, Drs Yudha Herry Asnawi MM, permintaan produk hidroponik terkait erat dengan peningkatan kesadaran hidup sehat di masyarakat. Namun, daya beli dan tingkat harga juga berpengaruh terhadap perluasan pasar. “Orang ingin mengonsumsi makanan sehat dengan harga terjangkau,” kata Yudha. Dengan kata lain, harga menjadi salah satu faktor penentu permintaan sayuran hidroponik.
Para pelaku hidroponik menyiasati dengan pemilihan komoditas yang berbeda dengan sayuran konvensional. Kunto Herwibowo dan Roni Arifin memilih komoditas selada butterhead, christine, monday, dan romaine yang jarang dibudidayakan petani lokal. Kalau pun menanam sayuran “biasa” seperti bayam dan kangkung, pekebun hidroponik menyasar konsumen kelas atas. “Konsumen kelas atas tidak sekadar membeli sayuran, mereka juga membeli kepercayaan dan jaminan kualitas,” kata Jimmy Halim. Itulah sebabnya ia menerapkan sortir ketat untuk bayam hijau, bayam merah, caisim, dan kangkung produksinya.
Menurut Meilinda Arnes SP, pekebun di Pondokcabe, Tangerang Selatan, harga masih menjadi hambatan bagi sebagian masyarakat untuk menikmati produk hidroponik. “Padahal sayuran hidroponik jauh lebih menyehatkan karena bebas residu pestisida,” kata Meilinda. Itu sebabnya ia gencar mengampanyekan kelebihan sayuran hidroponik kepada keluarganya. Kesadaran hidup sehat, daya beli konsumen, dan harga terjangkau menjadi kunci pasar sayuran hidroponik. Saat ketiganya terbuka, pasar tanpa batas membentang luas. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Bondan Setyawan, Kartika Restu Susilo, Lutfi Kurniawan, Muhamad Cahadiyat K, dan Rizky Fadhilah)

0 komentar:

Posting Komentar